Diantara Hukum Bulan Muharram
DIANTARA HUKUM BULAN MUHARRAM
Oleh
Ummu Abdurrahman bintu Muhammad Arfat
Wahai sekalian manusia bertaqwalah kepada Allah, dan perhatikanlah perjalanan hari-hari, karena sesungguhnya perjalanan hari (siang dan malam) akan terus berlalu mengantarkan akhir perjalananmu, yaitu negeri akhirat.
Maka berbahagialah bagi seseorang yang dapat mengisi waktunya dengan sesuatu yang dapat mendekatkan dirinya dengan Allah, berbahagialah bagi seseorang yang menyibukkan dirinya dengan ketaatan dan menghindari maksiat. Berbahagialah bagi seseorang yang meyakini adanya hikmah-hikmah Allah yang agung dan rahasia-rahasia-Nya (yang Dia ketahui), dengan melihat kepada silih bergantinya perkara-perkara dan keadaan-keadaan.
يُقَلِّبُ اللهُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَعِبْرَةً لأُوْلِي اْلأَبْصَارِ
“Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan” [An-Nuur/24 : 44]
Wahai sekalian manusia, sesungguhnya pada hari ini kamu berpisah dengan tahun yang telah lalu, yang menjadi saksi. Dan kamu akan menyambut tahun yang akan datang, tahun yang baru, maka apakah yang telah kamu tinggalkan untuk tahun kemarin? Dan dengan apa kamu akan menyambut tahun yang baru ini?
Maka seseorang yang berakal hendaklah menginstropeksi dirinya, dan melihat urusannya. Jika sekiranya dia telah meninggalkan suatu kewajiban, maka segeralah bertaubat dan segeralah untuk memperbaiki apa yang ditinggalkannya. Dan jika dia telah menzalimi dirinya sendiri dengan melakukan kemaksiatan-kemaksiatan dan hal-hal yang haram segeralah ia meninggalkannya sebelum datangnya kematian.
Dan jika dia termasuk orang yang diberi keistiqomahan oleh Allah, maka mintalah untuk tetap istiqomah sampai akhir hidupnya.[1]
Awal bulan telah membawa kita ketahun baru Hijriyah, bulan itu ialah bulan Allah Al-Muharam. Hal ini bukanlah sesuatu yang asing lagi bagimu. Tetapi ….! Apakah bulan ini memiliki hukum-hukum yang harus diketahui oleh thalibul ilmi, thalibul haq dan thalibul akhirah (penuntut ilmu, pencari kebenaran dan orang yang menginginkan akhirat)? Yaa … di bulan ini ada amalan-amalan yang harus diperhatikan, sebagai upaya untuk menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan upaya untuk memperoleh pahala serta kebaikan bagi orang yang mengajak kepada petunjuk agama.
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
“Siapa yang mengajak kepada suatu petunjuk maka ia akan memperoleh pahala seperti pahala orang yang mengikutinya dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari pahala mereka” [HR Muslim]
وَذَاتُ الْفَتَى وَاللهِ بِالْعِلْمِ والتُّقَى إِذَا لَمْ يَكُوْنَا لاَ اعْتِبَارَ لِذَاتِهِ
Pemuda sejati, demi Allah ialah yang memiliki ilmu dan ketaqwaan
Tidaklah dikatakan pemuda sejati kalau tidak memiliki keduanya.
DIANTARA HUKUM-HUKUM BULAN MUHARRAM
Pertama : Dilarang Berbuat Zalim Di Bulan Itu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتَابِ اللهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّماَوَاتِ وَاْلأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ فَلاَتَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat itu” [At-Taubah/9: 36]
Sesungguhnya Allah tidak menulis di dalam Lauhul Makhfud yaitu pada hari penciptaan langit dan bumi, bahwa jumlah bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan. Empat bulan di antaranya ialah haram (mulia) : Tiga beriringan, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram, serta Rajab Mudhar yang ada antara Jumada dan Sya’ban,
“Allah memiliki hikmah yang sempurna, yaitu ketika Dia memilih utusan-utusan dari kalangan malaikat (seperti Jibril untuk menyampaikan wahyu, -red), begitu juga dari kalangan manusia (yakni para rasul yang diutus Allah,-red). Dan Allah juga mengutamakan beberapa waktu dibanding dengan waktu yang lainnya, beberapa tempat dibanding dengan tempat-tempat lainnya. Dan mengutamakan sebagian bulan dengan sebagian lainnya, sebagian hari dengan sebagian lainnya”[2]
Adapun tentang larangan berbuat zalim pada ayat diatas, ulama Salaf berbeda pendapat. Sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud kezaliman adalah peperangan secara mutlak. Sebagian mereka berkata –dan ini yang lebih rajih– bahwa maksud dari kezaliman dalam ayat diatas ialah dilarangnya memulai peperangan. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kezaliman di dalam ayat ialah berbuat dosa dan kemaksiatan.
Maka –wahai saudara-saudara seagama Islam-, hendaklah kita berhati-hati dari kezaliman, baik menzalimi diri kita sendiri atau menzalimi orang lain. Hendaklah kita mengingat wasiat kekal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya.
اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنﱠ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Tahukah kalian dengan kezaliman, karena sesungguhnya kezaliman itu merupakan kegelapan-kegelapan pada hari kiamat” [3]
Dan hendaklah kita menjaga diri dari do’anya orang-orang yang dizalimi, walaupun ia kafir atau fajir (jahat), karena sesungguhnya do’anya dikabulkan oleh Allah (karena tidak ada penghalang antara dia dengan Allah).
Ingatlah kita kepada sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوْبَةَ مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ مِنَ الْبَغِى وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ
“Tidak ada dari satu dosapun yang lebih pantas untuk dicepatkan siksanya bagi pelaku dosa itu baik di dunia maupun di akhirat daripada melewati batas (kezaliman) dan memutus silaturahim” [4]
Di dalam syair dikatakan.
وَحَسْبُكَ أَنْ يَنْجُو الظَّلُوْمُ وَخَلْفَهُ سِهَامُ دُعَاءٍ مِنْ قَسِيٍّ رُكُوْعٍ
Apakah orang yang sangat dhalim itu akan selamat.
Padahal di belakangnya terdapat panah do’a yang siap menancap dari orang negeri Qas yang sedang ruku.
Maka hendaklah orang-orang yang terdhalimi bergembira dengan diijabahi do’a mereka oleh Allah yang Maha Mendengar dan Mengetahui, walaupun selang beberapa waktu.
Hendaklah mereka senang dan tenang, yaitu bahwa orang-orang yang zalim itu akan celaka di dunia dan akhirat. Dan bahwasanya Allah tidaklah menyelisihi janjiNya, “akan tetapi kalian itu kaum yang tergesa-gesa”.
Adapun orang yang membantu orang-orang yang zalim di dalam kezaliman dan kesesatan mereka, apapun kedudukan orang-orang yang zalim itu, baik penguasa ataupun rakyat, maka ingatlah bahwa adzab yang pedih pasti akan menunggu mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ أَعَانَ ظَالِمًا لِيُدْحِضَ بِبَاطِلِهِ حَقًّا, فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللهِ وَرَسُوْلِهِ
“Siapa membantu orang yang dhalim, untuk menolak kebenaran dengan kebhatilannya, maka sesungguhnya jaminan Allah dan RasulNya telah terlepas darinya”[5]
Hadits yang mulia diatas cukuplah menjadi peringatan dari kezaliman, baik kecil maupun besar, bagi orang yang berakal, atau orang yang mau mendengarkan, sedangkan dia menyaksikan.
Kedua : Disunahkan Puasa Secara Mutlak Khususnya 9 dan 10 Muharram
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ
“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Muharram” [6]
Adapun puasa 9 Muharram, maka itu disunnahkan. Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ» قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan (para sahabat) supaya berpuasa. Para sahabat berkata : “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya hari itu adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani”, Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Pada tahun depan insya Allah kita puasa tanggal 9”. Tetapi beliau wafat sebelum datangnya tahun berikutnya”[7]
Di dalam hadits lain.
لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
“Seandainya aku mendapati tahun depan, maka aku akan puasa tanggal 9. Tetapi beliau meninggal sebelum itu”[8]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan kepada umatnya supaya berpuasa Asyura (tanggal 10 Muharram). Ketika ditanya tentang puasa Asyura, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ ؟ فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
“Puasa Asyura menghapus kesalahan setahun yang telah lalu” [Hadits Riwayat Muslim]
Beliau juga senantiasa melakukan puasa Asyura berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata.
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلاَّ هَذَا الْيَوْمَ , عَاشُورَاءَ
“Tidaklah aku melihat Rasulullah lebih menjaga puasa pada hari yang diutamakannya dari hari lain kecuali hari ini, yaitu Asyura”[9]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّ عَاشُورَاءَ يَوْمٌ مِنْ أَيَّامِ الهِ
“Sesungguhnya Asyura merupakan hari diantara hari-hari Allah” [Hadits Riwayat Muslim]
Benarlah bahwa Asyura merupakan hari-hari Allah, yang pada hari itu al-haq mendapatkan kemenangan atas kebatilan. Orang-orang mukmin yang sedikit mendapatkan kemenangan atas orang-orang kafir yang banyak. Pada hari itu pula Allah menyelamatkan Nabi Musa ‘Alaihis sallam dan kaumnya dari kejaran Fair’aun. Maka berpuasalah Nabi Musa ‘Alaihis sallam sebagai wujud syukur kepada Allah.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ الله عَنْهُمَا، قَالَ: قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِينَةَ فَرَأَى اليَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: «مَا هَذَا؟»، قَالُوا: هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى الله بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ، فَصَامَهُ مُوسَى، قَالَ: «فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ»، فَصَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi Shallallalhu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, maka beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa hari ‘Asyura. Beliau bertanya kepada mereka: “Ada apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari yang baik. Pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka. Maka Nabi Musa berpuasa pada hari ini.” Nabi Shallallalhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saya lebih layak dengan nabi Musa dibandingkan kalian.” Maka beliau berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan para shahabat untuk berpuasa ‘Asyura. [Hadits Riwayat Bukhari]
Pada mulanya puasa Asyura diwajibkan, tetapi setelah Allah mewajibkan puasa pada bulan Ramadhan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَه
“Barangsiapa berkehendak, silahkan berpuasa, dan barangsiapa berkehendak, silahkan meninggalkan (tidak berpuasa)”.
Mungkin ada orang yang berkata : “Bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura, mengikuti orang-orang Yahudi, padahal kita diperintahkan untuk menyelisihi mereka, yaitu orang-orang yang di murkai oleh Allah”.
Jawabannya adalah : Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpuasa Asyura pada zaman jahiliyah, bahkan orang Quraisy pun berpuasa pada hari itu. Jadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa Asyura itu sebelum beliau datang ke Madinah (yang disana bertemu dengan orang-orang Yahudi,-red). Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan khabar orang-orang Yahudi, bahwa nabi Musa ‘Alaihis sallam berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur, karena Allah telah menyelamatkan dari Fir’aun. Maka orang-orang Yahudi pun mengagungkan hari itu. Al-Mazari berpendapat bahwa pembenaran Nabi kepada Yahudi mungkin setelah Nabi diberi wahyu tentang kebenaran mereka, dan kabar itu telah sangat masyhur pada beliau. Atau mungkin orang Yahudi yang telah masuk Islam, seperti Ibnu Salam, telah mengabarkan kepada Nabi tentang kebenaran kabar tersebut, Kesimpulannya, bahwa Nabi melakukan puasa Asyura bukanlah karena mengikuti orang Yahudi, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpuasa sebelum Rasulullah pergi ke Madinah. Dan waktu itu menyamai Ahli Kitab dalam perkara yang tidak dilarang secara syar’i.
KAIDAH MUWAFAQAH (MENYAMAI) MEWUJUDKAN ADANYA TASYABUH (MENYERUPAI).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menyamai Yahudi dalam mengagungkan hari Asyura dengan cara mereka. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi mereka, yaitu dengan (niat) melakukan puasa satu hari sebelum Asyura yaitu tanggal 9 Muharram
Adapun puasa setelahnya yaitu 11 Muharram , ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ ، صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا
“Berpuasalah pada hari Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”
Hadits ini disebutkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam ta’liq (komentar) nya terhadap Shahih Ibnu Khuzaimah juz 3 no. 290, bahwa sanadnya dha’if, karena kejelekan hafalan Abu Laila, dan Atha’ serta yang lain menyelisihinya juga. Bahkan Ath-Thahawi dan Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Abbas secara mauquf (dari perkataan Ibnu Abbas) dan sanadnya shahih.
Sekarang jelaslah tentang kelemahan orang yang menyatakan bahwa puasa Asyura itu bertingkat-tingkat. Yang paling tinggi tingkatannya adalah puasa sebelum ataupun sesudahnya. Dalam hal ini perkataan Ibnu Abbas menjadi penguat puasa pada tanggal 9 Muharram dan 10 Muharram dalam rangka untuk menyelisihi orang Yahudi. Inilah pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam Fatawa juz 25 hal. 313. Wallahu a’lam
PERINGATAN TENTANG HADITS DHAIF YANG BERKAITAN DENGAN KEUTAMAAN ASYURA
مَنْ وَ سَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ
“Siapa yang memberikan kelonggaran (nafkah) kepada orang yang menjadi tanggungannya pada hari Asyura, maka Allah akan memberikan kelonggaran kepadanya selama setahun penuh”.
Hadits dhaif sebagaimana disebutkan di dalam Kitab Tamamul Minnah oleh Syaikh Al-Albani hal. 412
مَنِ اكْتَحَلَ بِالإِثْمِدِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ لَمْ تَرْمِدْ عَيْنُهُ أَبَدًا
“Siapa yang bercelak dengan itsmid pada hari Asyura, dia tidak akan terkena penyakit mata selamanya”
Hadits maudhu (palsu) sebagaimana di dalam kiat Adh-Dhaifah no. 224
Maka sikap Ahlu Sunnah wal Jama’ah di dalam menghadapi hari Asyura adalah bahwa Asyura bukanlah hari untuk senda gurau ataupun untuk mencela. Akan tetapi yang sunnah ialah melakukan puasa, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari itu, bahkan menganjurkannya. Dan terkutulah ahli bid’ah (yang membikin berbagai bid’ah pada hari yang mulia ini)
كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ يُعَظِّمُهُ وَيَدْعُوْ بِرُضَعَائِهِ وَرُضَعَاءِ فَاطِمَةَ وَ يَتْفُلُ فِي أَفْوَاهِهِمْ وَيَأْمُرُ أُمَّهَاتَهُمْ أَلاَّ يُرْضِعْنَ إِلىَ اللَّيْلِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengagungkan hari itu dan memanggil bayi-bayi yang menyusui milik beliau dan Fathimah, kemudian beliau meludah di mulut mereka dan memerintahkan ibu mereka agar tidak menyusuinya sampai malam”
Hadits dhaif, sebagaimana disebutkan di dalam kitab Shahih Ibnu Khuzaimah no. 2089
Akhirnya, inilah yang bisa kami ketengahkan tentang pembahasan penting yang berhubungan dengan bulan Muharram. Jika pembaca menginginkan pembasahan yang lebih luas bisa melihat kitab-kitab fikih induk dan kitab-kitab akidah yang membantah ahli bid’ah dan kitab-kitab lain yang membahas masalah ini. Dan juga hendaknya melihat kitab Ra’sul Husain karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, kitab Istisyhadul Husain karya Ibnu Katsir, dan kitab Al-Awashim Minal Qawashim karya Ibnul Arabi Al-Maliki. Sehingga bisa mengetahui hakikat peristiwa musibah Husain bin Ali menurut pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dan juga mengetahui seberapa besar bid’ah-bid’ah dan kemungkaran-kemungkaran yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah Rafidhah, yang mengatas namakan kecintaan kepada Ahlul Bait dan pembelaan kepada mereka dengan merusak sejarah Islam. Dan agar mengetahui berdasarkan ilmu, tentang sejarah Husain Radhiyalahu ‘anhu dan riwayat-riwayat yang menceritakan tentang musibah yang besar itu. Yang hingga kini terus menerus umat harus membayar harga musibah tersebut. Semua itu mereka lakukan dengan mengatas namakan Ahlul Bait dan penghapusan dosa terbunuhnya Husain dengan cara membunuh Ahlu Sunnah wal Jama’ah, mengadakan propaganda-propaganda untuk melawan Ahlus Sunnah, dan menanamkan rasa takut di hati mereka. Maka semoga Allah membinasakan ahli bid’ah dan ahli ahwa, yang mereka itu membunuhi umat Islam tetapi membiarkan para penyembah berhala.
Kita memohon kepada Allah semoga Dia menyelamatkan kita dari bid’ah-bid’ah dan dari perkara-perkara yang diadakan di dalam agama.
(Diterjemahkan oleh Abu Aminah Ady Abdul Jabbar dari majalah Al-Ashalah, hal.67-73, No. 11, 15 Dzulhijjah 1414H)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/1421H/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Dari kitab Dhiya’ul Lami Minal Khutabil Jawami’ I/313-314 secara bebas, karya Syaikh Utsaimin
[2] Dhiya’ul Lami 2/704
[3] Hadits Riwayat Muslim dan lainnya. Shahih al-Jami no 102
[4] Ash-Shahihah no 915
[5] Hadits Riwayat Hakim. Shahihul Jami’ no 6048
[6] Hadits Riwayat Muslim dari Abu Hurairah
[7] Hadits Riwayat Muslim
[8] Hadits Riwayat Muslim
[9] Shahih At-Targhib wa Tarhib
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2035-diantara-hukum-bulan-muharram.html